Nama Depok terkenal sebagai salah satu kota satelit ibukota Jakarta,
tetapi entah sengaja atau tidak, di beberapa daerah ada juga nama Depok,
seperti di Kabupaten Sleman Yogyakarta yang mempunyai salah satu
kecamatan bernama Depok juga salah satu pantai yang terkenal di
Yogyakarta yaitu Parangtritis juga sering disebut juga dengan pantai
Depok, bahkan di Daerah Bantul Yogyakarta adan juga nama Bah Depok
ddisebelah pabrik Gula Madukismo Yogyakarta. Nama Depok juga erat
berkaitan dengan kisah sejarah Majapahit yaitu putra Kertabumi atau
Brawijaya ke V, yang bernama Bondan Kejawan yang menurunkan Ki Ageng
Abdullah atau Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok, seorang kyai atau
guru spiritual , dari nama inilah kemungkinan istilah padepokan lahir,
yaitu belajar mengaji di tempat Raden Depok, kisah ini terjadi di tahun
1500 atau semasa walisongo di pulau Jawa, karena Jawa Barat diislamkan
oleh Sunan Gunungjati yang memang mengaji dan bersosialisasi di
Jawatengah maka istilah "Padepokan atau mengaji di tempat Raden Depok"
masih terbawa bawa hingga terjadi pengislaman tanah Sunda yang
dipelopori oleh kerajaan Banten dibawah Maulana Hasanudin putra Sunan
Gunung Jati di Cirebon.
Jadi kalau istilah Depok ini berasal dari kata kata Padepokan maka jelas
nama Depok telah ada sebelum Cornelis Chastelein datang ke Depok, namun
sebetulnya kata kata De-Folk yang artinya "rakyat" juga bisa dikaitkan
sebab nama awal dari Kali Sunter (yang muaranya berada di kelurahan
Cilangkap Tapos Depok) sudah disebut oleh pimpinan telik sandi tentara
Mataram yang tinggal di Batavia sejak tahun 1620 - 1629 yang bernama Ki
Bagus Wanabaya, (putra Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dari Mataram)
sebagai Kaal - Stinker atau "daerah orang miskin yang berbau kentut"
rupanya naluri insting intel Mataram yang cakap berbahasa Belanda ini
memahami bahwa dengan sebutan yang rendah itu tidak akan menuntun intel
VOC Belanda untuk mencari lokasi khusus yang menjadi markas tentara
Sandi Mataram di Depok itu.
Namun keberadaan Kaal - Stinker atau Kali Sunter itu akhirnya terendus
juga oleh intelejen VOC Belanda sesudah perang Banten tahun 1682 yang
menemukan ternyata penduduk Tapos ini ternyata telah mempunyai komunitas
dan kemampuan tempur yang sangat baik, maka pimpinan intelejen VOC
menugaskan seorang tentara muda dan cerdas bernama Cornelis Chastelein
yang pada tahun itu pada usia 25 tahun dengan jabatan sebagai Grootwin
kelier der OostIndische Compagnie untuk menyelidiki dan memantau dan
menggarap daerah selatan Batavia ini sebagai daerah penyangga kekuatan
militer Batavia melawan tentara pemberontak lokal Sunda yang saat itu
terganggu produksi kebunnya . Ia bersama kesatuan tempurnya bekerja
keras dan menanamkan jiwa persaudaraan dalam korsa kesatuan tempurnya.
Dan pada
tahun 1691 ia dinaikkan jabatannya menjadi Tweede Opperkoopman des
Casteels
Batavia dengan gaji 65 gulden,namun ia malah diperintahkan untuk pensiun
dari VOC karena diserahi tugas khusus untuk memimpin Garnizun Depok,
sebuah kesatuan tentara yang mandiri dengan para prajurit lokal
Nusantara . Jabatan itu didapat karena ide cerdasnya untuk membentuk
kesatuan tentara khusus Kristen beranggota suku suku di Nusantara yang
mandiri, keluarga pejuang yang harus bisa berbaur di masyarakat sebagai
petani atau pekebun yang agamis , mereka dididik menjadi fanatik, ulet
dan pemberani , saking fanatiknya mereka memanggil sang kumendan
Cornelis dengan sebutan presiden,
Cornelis Chastelein menjadi komandan dan memerintah garnizunnya lengkap
dengan sistem pemerintahannya dan melatih para prajurit lokal VOC ini
dengan sangat baik sehingga sebagian besar anggotanya (walaupun
berlainan suku dan daerah) sangat
piawai berbahasa Belanda. Model dan ketaktisan kesatuan tempur
Garnizun Depok ini sangat dikagumi dan mengilhami Herman Willem Deandels
yang pernah bertugas menjadi Gubernur Jendral ke 36 di Batavia
mencetuskan Ide Legiun Asing ( legion Estranger) dalam ketentaraan
Napoleon Bonaparte pada tahun 1812, yaitu adanya prajurit dari bermacam
suku dan bangsa dalam sistem keprajuritan Perancis, ide ini ditiru dan
dilaksanakan oleh pemerintah Perancis hingga perang dunia ke II.
Ada 12 marga yang diberikan oleh Cornelis Chastelein sebagai simbul
garnizun ini. Ke-12 marga tersebut adalah Bacas,
Jonathans, Isakh, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense,
Soedira, Samuel dan Zadokh. Pada awalnya, warga yang mendapat 12 marga
ini berasal dari berbagai suku di Indonesia, seperti Jawa, Makassar,
Manado,
Bali dan Timor., jelas ide garnizun Depok ini berasal dari ketekunannya
mempelajari budaya pertanian / perkebunan masyarakat Tapos yang
keturunan tentara Mataram dan Banten. Tentara lokal garnizun Depok ini
dididik Cornelis Chastelein secara keras, disiplin dan spartan,
(pendidikan ketentaraan inilah yang disamarkan oleh VOC sebagai
perbudakan), sehingga tentara yang dihasilkan dari garnizun Depok ini
menjadi andalan VOC dimasa itu dalam menumpas pemberontakan
pemberontakan yang seringkali terjadi di Nusantara. Garnizun Depok ini
mempunyai simbul 12 marga atau kompi (atau disebut kumpi), Dengan adanya
Kristen sebagai agama wajib anggotanya di Garnizun Depok ini, maka
tentu vaktor pembelotan tentara lokal VOC saat melawan kerajaan kerajaan
(yang kebanyakan Islam) Nusantara dapat diminimalisir sekecil mungkin.
Oleh karena ia bertindak sebagai direktur dan komandan Garnizun, demi
kecintaannya pada para prajurit setianya maka saat ia meninggal, ia
meletakkan harapana dan cita-citanya pada 12 kumandan kompinya dengan
mewariskan semua harta bendanya kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar